Prof.Dr.Wahyu Wibowo : Dari Imaji dan Teknik Pengucapan, Puisi Menjadi Lirik yang Siap untuk Dimusikkan

JAKARTA- Prof.Dr.Wahyu Wibowo, Dosen Mata Kuliah Filsafat Bahasa pada Fakultas Bahasa dan Sastra Universitas Nasional (UNAS) Jakarta mengatakan puisi dinyanyikan, dengan topik keagamaan-seperti yang suka kita dengarkan di mana-mana- memang  sudah lama kita jumpai, sebagai bagian dari upacara keagamaan.  

"Bahkan, kemudian para musisi klasik juga kerap kita dengarkan banyak menggubah puisi ke dalam bentuk musik, menjadi suatu tembang puitik yang diharapkan bisa menambah estetik suatu pergelaran," ujar Prof.Dr.Wahyu Wibowo ketika diminta komentarnya di Jakarta, Selasa (4/3/2025)  tentang belakangan ini banyak  karya puisi yang diangkat menjadi tembang puitik, antara lain oleh Komponis & Pianis Ananda Sukarlan.

Lalu, muncul "aksi" musikalisasi puisi (memusikkan puisi), seperti yang pernah disuguhkan oleh Bimbo terhadap puisi karya Taufiq Ismail.

Juga, musikalisasi puisi yang disajikan oleh Reda terhadap puisi karya Sapardi Djoko Damono.
 
"Perpaduan yang selaras antara nada (musik) dan estetika bahasa pada sebuah puisi agaknya menyebabkan mengapa puisi kerap dimusikkan oleh komponis," ujarnya.

"Kemanjaan kita pada bunyi musik, dan kesetiaan kita pada pembongkaran  "rahasia" puisi,  setidaknya menyebabkan mengapa puisi suka dimusikkan.

"Lagi pula, dari sisi imaji dan teknik pengucapannya, sering kali puisi menjadi lirik yang sudah siap untuk dimusikkan. 
Bukan lirik yang mendayu-dayu, yang sekadar menggambarkan kisah cinta, misalnya," ucap Prof.Dr.Wahyu Wibowo, Penyair dan Sastrawan yang telah menulis 50 judul buku sastra, jurnal.ilmiah, jurnalistik, dan masih banyak lagi.

Menurutnya pantun atau gurindam- dalam lagu-lagu Jawa, yang dimusikkan oleh para komponis melalui gamelan-contohnya, juga pada dasarnya melahirkan estetika bunyi yang mampu menghanyutkan pendengarnya. 

Suasana ini, yang juga bisa disebut ekstasi, memang kemudian berpotensi manusia menjadi reflektif (karena dirinya bisa sejenak retret atau berjarak dengan kehidupannya, lalu melakukan perenungan).
      
"Itu pula yang patut diapresiasi ketika puisi karya Pulo Lasman Simanjuntak, berjudul "Meditasi Batu", diangkat oleh komponis Indonesia, Ananda Sukarlan, menjadi sebuah tembang puitik, dan lalu dibawakan di luar negeri," ujarnya.
     
Di tengah kesedihan tentang betapa kebudayaan asing telah menggerogoti sendi-sendi budaya Indonesia, dan di tengah keprihatinan  tentang "nasib" puisi Indonesia di kancah global, puisi berjudul "Meditasi Batu" karya Pulo Lasman Simanjuntak-yang dimusikkan oleh komponis Ananda Sukarlan itu-setidaknya menerbitkan suatu horison baru tentang musikalisasi puisi Indonesia di kancah global. Horison baru yang juga mampu membuat manusia Indonesia melakukan retret.

Kebebasan Penyair

Puisi 

Pulo Lasman Simanjuntak 

MEDITASI BATU 

pada akhirnya
kutikam pertarungan
berulangkali
tanpa belati tajam

amarah manusia lama
meledak 
dari lautan
paling dalam

maka harus kuakhiri
dengan meditasi batu
untuk menabur suara ilahi
di tanah berbuah

tanpa harus melirik
tabiat orang lain
karena aku wajib
jadi manusia baru

Jakarta, Selasa 21 Februari 2023

"Puisi 'Meditasi Batu' di atas tadi melahirkan pertanyaan menikam pertarungan? Kalau imaji penyair Pulo Lasman Simanjuntak  dipahami secara gamblang, agaknya kita akan kesulitan menggambarkan apa yang dikesankan dalam puisi  tersebut," ucap Prof.Dr.Wahyu Wibowo.

Apalagi, kalau kita menjejak pada prinsip 'kebebasan penyair', yang oleh karena itu justru menjauhkan kita dengan 'maunya' Lasman Simanjuntak.

Juga apalagi jika kita melihat kolokasi lanjutan dari karya puisi Pulo Lasman Simanjuntak  "manusia lama", " tanah berbuah", atau "meditasi batu". Teori apa pun untuk menguak 
imaji tersebut pasti gagal, dan karena gagal, maka sajak Lasman Simanjuntak  menjadi gagal.
    
Beruntung, ada prinsip yang mengiringi istilah  'kebebasan penyair' itu tadi, yakni prinsip berbahasa yang disebut "verdiktif", yaitu dampak atau respons estetik yang muncul dari pembacanya terhadap suatu puisi.

" Dalam prinsip ini, dimungkinkan seorang penyair akan tersingkir dari imaji pada sajaknya, karena imajinya diambil-alih oleh pembacanya," jelasnya.

Dengan kata lain, sajak Pulo Lasman Simanjuntak  tersebut akan dikonstruksikan oleh para pembacanya dengan hasil yang berbeda-beda, atau tiap pembaca akan memiliki respons estetis yang berbeda-beda. 

Dan, itu amat sah, mengingat awal penciptaan puisi pada umumnya dilandasi oleh imaji (gambaran/bayang-bayang) penyairnya terhadap apa pun yang ada di kepalanya.

Verdiktivitas itulah yang menegaskan bahwa puisi  "Meditasi Batu" adalah meditasi yang amat tekun, sangat terfokus, amat serius, sehingga ibarat  membatu, yang jika dibandingkan dengan sebuah pertarungan, si aku liris berhasil menguasai meditasinya (teknik relaksasi dalam memusatkan pikiran) dengan menikam/membungkamnya tanpa menggunakan belati. 

"Hening. Terpusat. Tidak seperti umumnya orang biasanya bermeditasi yang tanpa hasil.
Pulo Lasman Simanjuntak  secara verdiktif, berhasil mencapai puncak ekstasinya. Mungkin, ini juga dipengaruhi oleh pengalaman ekstra literernya sebagai pelayan gereja," pungkasnya.(Lasman)


Diberdayakan oleh Blogger.